Suatu ketika, saat matahari bersinar dengan angkuhnya di angkasa. Aku berlari, jauh sekali untuk meninggalkan apa yang kita sebut rumah. Tak habis pikir, hanya untuk menemui sebongkah hati yang terbuat dari batu.
Akan kucoba. Mungkin ini hanya masalah waktu. Waktu untukku berpikir, berusaha, berjuang, bermandikan darah, agar wajahmu tak menghantuiku. Supaya aku bisa melihat lagi dunia… melihat seluruh isi dunia, dari sudut pandang mata yang tak sama.
Setiap kali aku melihatmu, akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindar. Tapi mengapa? mengapa setiap kali kita bertemu rasanya kakiku patah? Aku tak bisa kemana-mana? Dan setiap kali kau yang beranjak meninggalkanku membanting pintu kamar.
Gugurlah bunga…. Aku bagai kelopak bunga yang lepas jatuh mencium bumi.
Aku berlari menerobos ilalang, berteriak pada angin. Katakan padaku. Mengapa tak ada gema pada teriakan hatiku ini? Mengapa?
Lalu aku berjalan lagi, menerobos lagi dedaunan hutan sendu. Kurangkul bayu. Tapi tak kurasakan apa-apa. Aku merangkul apa? Apa yang kucari? Saat aku mencari cari, tidakkah ada yang memberi tahuku bahwa tak ada apa-apa yang sedang kucari? Selain perasaan hati ini saja? Air mata jatuh. Meresap cepat di bumi gersang.
Biarkan aku berbaring diantara ilalang ini. Tak peduli sisi daunnya tajam menggores hati. Luka. Luka. Luka. Biarkan aku tidur. Mimpi akan menyembuhkan luka. Tapi aku tak bisa. Aku patah, hancur dan luruh dalam air mata, bahkan dalam mimpiku yang terindah.
Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku bersumpah. Ini terakhir kita bertemu.
Tapi mengapa, kembali mengapa, setiap bertemu rasanya kakiku patah? Aku tak bisa beranjak. Sejengkal pun tidak.
Dan saat kau biarkan aku lelap dalam pesonamu, kau tinggalkan aku dengan senyum dari balik pintu. Pintu hati yang sudah penuh keropang. Aku seperti bunga yang gugur jatuh ke bumi.
Entah sampai kapan. Akankah batara kala mau berbaik hati membisikkan waktu lewat sang bayu? Sekedar penghiburan mungkin. Atau batara surya. Lewat sinarmu yang perkasa, menjilati tubuhku dengan magismu? menyentuh sendi sendiku yang patah? Atau batara Indra? hembuskan aku makna…..
Agar kakiku kuat lagi, untuk berjalan meniti ladang ladang terjal yang hanya bisa dilalui oleh kambing-kambing gunung. Menuju puncak tertinggi. Puncak batu curam. Lalu meloncat ke bawa, ke kawah keabadian. Biarlah api bumi membakar hati ini, agar terbukti cintaku suci.
Kutahu cinta itu konsekwensi. Tidak menuntut apa apa, sekaligus menuntut segala. Cinta yang berat, yang merobek robek jutaan hati dari kertas, melemparkannya ke udara seperti layangan lepas, yang kemudian robek diterpa hujan. Hancur digilas angin. Membatu dibantai pikiran.
Cinta yang beratnya luar biasa, memikirkannya justru paling berat!
Sumber: http://traktorlubis.blogspot.com/2011/06/gugur-laksana-bunga.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar