Sabtu, 11 Mei 2013

PENANGGULANGAN CYBERCRIME

    Cybercrime merupakan sebuah fenomena kejahatan yang sangat merugikan, sehingga pelaku kejahatannya pun harus dihukum sesuai kadar kejahatannya. Negara Indonesia adalah negara hukum sehingga dalam menangani suatu tindak kejahatan tidak terkecuali sybercrime itu sendiri maka pemerintah membuat sebuah undang-undang yang mengatur hukuman apa yang pantas untuk para pelaku cybercrime ini. Sehingga dengan adanya penganganan yang tepat terhadap setiap kasus cybercrime diharapkan dapat menghilangkan atau paling tidak meminimalkan kasus-kasus cybercrime di negeri Indonesia tercinta ini.   

    Undang-undang yang diharapkan adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Indonesia memiiki beberapa hukum positif yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana.   
    Dengan diterapkannya undang-undang ini secara maksimal tentunya pelaku-pelaku cybercrime akan berfikir dua kali untuk melakukan kejahatannya mengingat sanksi yang diberikan tidak bisa dianggap ringan. Sanksi yang diberikan memanglah sepadan dengan apa yang dilakukan para pelaku cybercrime mengingat kerugian yang ditimbulkan pun berdampak besar bagi sang korban. Berikut ini adalah beberapa undang-undang yang relevan dengan kasus-kasus berbagai kejahatan di dunia maya.

a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
    Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus. Pasal-pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :

1.      Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
2.      Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
3.      Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
4.      Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
5.      Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
6.      Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
7.      Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa.
8.      Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
9.      Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
a. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
    Menurut Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untukmelakukan fungsi-fungsi khusu atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instrksi-instruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selam 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.

   Misalnya, program antivirus seharga $50 dapat dibeli dengan harga Rp. 20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp. 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan softwar di Indonesia yang terkesan "dimaklumi" tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 aya (3) yaitu "Barangsiapa dengan sengaja dann tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)".

b. Undang - Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

    Menurut Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No. 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirim dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik.

   Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang-Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :

1. Akses ke Jaringan telekomunikasi
2. Akses ke Jasa telekomunikasi
3. Akses ke Jaringan telekomunikasi khusus

  Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan pasal 50 yang berbunyi " Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang dokumen Perusahaan
    Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofil dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD-ROM), dan Write-Once-Read-Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.

d. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling mapuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidan yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data Perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan Bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakuka adalah mengirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk dieruskan ke Gubernur Bank Indonesia.

  Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian uang proses tersbut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak Bank, berbentuk :
aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data-data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitualat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

e. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
    Selain undang-undang No. 25 Tahun 2003, Undang-undang ini mengatur mengenai alat bukti ellektronik sesuai dengan pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku dilapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi dilapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chatroom, selain mencari dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui buletin board atau mailing list.

f. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik
   Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tdak bertanggung jawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.

    Dengan adanya undang-undang diatas merupakan suatu bukti keseriusan pemerintah dalam menanggulangi kasu cybercrime. Sehingga kasus-kasu cybercrime di Indonesia dapat ditangani dengan baik yang pada akhirnya akan menimbulkan kedamaian di dunia maya dan pandangan positif akan diberikan dunia kepada Negara kita tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar